Fuya adalah nama kain kulit kayu Indonesia di dunia
Internasional. Fuya atau Vuya berasal dari kata wuyang atau vuyang, istilah
untuk kain kulit kayu dari Minahasa (Sulawesi Utara) dan menjadi terkenal saat
pengunjung Eropa memanfaatkannya untuk berbagai tujuan.
Kain kulit kayu yang umumnya disebut tapa atau fuya tersebar
di beberapa titik di Nusantara, setiap kelompok masyarakat memiliki sebutan
berbeda untuk kain ini. Kita mengenal “Daluang” di Garut dan “Ulantaga” di
Bali. Di sekitar taman Lore Lindu Sulawesi Tengah, ada sebutan “ivo” di Desa
Pandera, “kumpe” di Kulawi, “ranta” di Lembah Banda, dan “modo” di Lembah
Basoa.
![]() |
Vuya – Kain Legenda Internasional dari Minahasa |
Teknik pembuatan fuya di daerah Kulawi diyakini yang paling
canggih di Indonesia. Sementara itu, daerah-daerah lain fuya dibuat secara
terbatas tergantung kebutuhan. Masyarakat Kulawi memproduksi fuya secara massal
meski masih dibuat dengan tangan. Penggunaannya pun tak sekedar untuk keperluan
keluarga. Di Kulawi, tidak hanya pohon Murbei (Broussenetia Papyfera)
yang digunakan sebagai bahan baku kain kulit kayu ini, tetapi juga Sukun (Artocarpus),
Beringin atau Ara (Ficus), dan pohon upas yang beracun (Antiaris).
Kulit kayu pohon murbei menghasilkan kain putih paling baik.
Proses pembiatan kainkulit kayu di Kulawi pada prinsipnya tak
banyak berbeda dengan pembuatan kain kayu di tempat lain, hanya ada beberapa
detail tahap yang tak dilakukan oleh masyarakat lain. Kulit-kulit yang berserat
dilembabkan terlebih dahulu untuk melunakkan kayu, bisa dengan direbus atau
direndam. Dalam tahap ini, ditambahkan akar-akaran dan daun-daunan untuk
menigkatkan warna alami kulit kayu. Setelah itu, kulit kayu dibungkus dengan
daun Livistonia Latifolia dan diletakkan ditempat yang lembab dan
gelap di hutan selama tiga hari sampai tiga minggu untuk proses fermentasi.
Bila proses fermentasi telah usai, bungkusan dibuka dan serat
yang masih basah dan lengket direntangkan pada batang kayu untuk dipukuli. Alat
pemukul biasanya memiliki ragam hias sederhana untuk menciptakan tekstur
tertentu pada kain. Terakhir, kain diawetkan dengan menggosokkan getah buah ula
(Strychnos Ligustrina) pada kedua sisi kain.
Di daerah lain, hiasan atau lukisan pada kain kulit kayu
memiliki makna penting dalam ritual tertentu. Di Sulawesi Tengah, ditemukan
teknik cetak menggunakan sepotong bambu atau tabung eboni yang diukur pada
bagian ujungnya, kemudian dicelupkan ke dalam pewarna dan diletakkan pada kain.
Sementara itu, teknik sabon dijumpai di Kalimantan. Pewarna alami yang
digunakan didapat dari buah-buahan, daun, akar, kulit dan sebagainya. Inilah
salah satu bentuk kecerdasan lokal yang masih bertahan ditengah laju perubahan
zaman.
0 comments:
Post a Comment