Monday, September 9, 2013

Fuya – Kain Legenda Internasional dari Minahasa

Fuya adalah nama kain kulit kayu Indonesia di dunia Internasional. Fuya atau Vuya berasal dari kata wuyang atau vuyang, istilah untuk kain kulit kayu dari Minahasa (Sulawesi Utara) dan menjadi terkenal saat pengunjung Eropa memanfaatkannya untuk berbagai tujuan.

Kain kulit kayu yang umumnya disebut tapa atau fuya tersebar di beberapa titik di Nusantara, setiap kelompok masyarakat memiliki sebutan berbeda untuk kain ini. Kita mengenal “Daluang” di Garut dan “Ulantaga” di Bali. Di sekitar taman Lore Lindu Sulawesi Tengah, ada sebutan “ivo” di Desa Pandera, “kumpe” di Kulawi, “ranta” di Lembah Banda, dan “modo” di Lembah Basoa.
Vuya – Kain Legenda Internasional dari Minahasa
Vuya – Kain Legenda Internasional dari Minahasa

Teknik pembuatan fuya di daerah Kulawi diyakini yang paling canggih di Indonesia. Sementara itu, daerah-daerah lain fuya dibuat secara terbatas tergantung kebutuhan. Masyarakat Kulawi memproduksi fuya secara massal meski masih dibuat dengan tangan. Penggunaannya pun tak sekedar untuk keperluan keluarga. Di Kulawi, tidak hanya pohon Murbei (Broussenetia Papyfera) yang digunakan sebagai bahan baku kain kulit kayu ini, tetapi juga Sukun (Artocarpus), Beringin atau Ara (Ficus), dan pohon upas yang beracun (Antiaris). Kulit kayu pohon murbei menghasilkan kain putih paling baik.

Proses pembiatan kainkulit kayu di Kulawi pada prinsipnya tak banyak berbeda dengan pembuatan kain kayu di tempat lain, hanya ada beberapa detail tahap yang tak dilakukan oleh masyarakat lain. Kulit-kulit yang berserat dilembabkan terlebih dahulu untuk melunakkan kayu, bisa dengan direbus atau direndam. Dalam tahap ini, ditambahkan akar-akaran dan daun-daunan untuk menigkatkan warna alami kulit kayu. Setelah itu, kulit kayu dibungkus dengan daun Livistonia Latifolia dan diletakkan ditempat yang lembab dan gelap di hutan selama tiga hari sampai tiga minggu untuk proses fermentasi.

Bila proses fermentasi telah usai, bungkusan dibuka dan serat yang masih basah dan lengket direntangkan pada batang kayu untuk dipukuli. Alat pemukul biasanya memiliki ragam hias sederhana untuk menciptakan tekstur tertentu pada kain. Terakhir, kain diawetkan dengan menggosokkan getah buah ula (Strychnos Ligustrina) pada kedua sisi kain.

Di daerah lain, hiasan atau lukisan pada kain kulit kayu memiliki makna penting dalam ritual tertentu. Di Sulawesi Tengah, ditemukan teknik cetak menggunakan sepotong bambu atau tabung eboni yang diukur pada bagian ujungnya, kemudian dicelupkan ke dalam pewarna dan diletakkan pada kain. Sementara itu, teknik sabon dijumpai di Kalimantan. Pewarna alami yang digunakan didapat dari buah-buahan, daun, akar, kulit dan sebagainya. Inilah salah satu bentuk kecerdasan lokal yang masih bertahan ditengah laju perubahan zaman.


Fuya – Kain Legenda Internasional dari Minahasa Rating: 4.5 Diposkan Oleh: SAI

0 comments:

Post a Comment